[Disalin dari buku Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press]
Perang Banu Quraidlah
Disebutkan dalam Ash-Shahihain bahwa ketika Nabi saw kembali dari Khandaq, tidak lama setelah meletakkan senjata dan mandi, Jibril datang kepadanya lalu berkata, “Apakah kamu sudah meletakkan senjata? Demi Allah, kami belum meletakkannya. Berangkatlah kepada mereka.“ Nabi saw bertanya, “Kemana?“ Jibril menjawab, “Ke sana, seraya menunjuk ke arah perkampungan Banu Quraidlah. Kemudian Nabi saw berangkat mendatangi mereka.
Nabi saw memerintahkan kaum Muslimin supaya tidak seorang pun di antara mereka melaksanakan shalat Ashar kecuali setelah sampai di banu Quraidlah. Di tengah perjalanan tibahlah waktu shalat Ashar. Sebagian berkata, “Kami tidak akan shalat Ashar sehingga kami sampai di sana.“ Sebagian lainnya berkata, “Kami akan melakukan shalat. Karena bukan itu yang dimaksudkan oleh Nabi saw.“ Kemudian mereka melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah saw , tetapi beliau tidak mengecam atau menegur terhadap salah seorang pun di antara mereka.
Rasulullah saw mengepung Bani Quraidlah yang bertahan di benteng-benteng mereka selama 25 malam, ada yang mengatakan selama 15 hari, sampai mereka menyerah dan Allah swt melemparkan rasa takut ke dalam hati mereka.
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Ka‘ab bin Asad berkata kepada orang-orang Yahudi, karena melihat Rasulullah saw tidak mau beranjak meninggalkan mereka, “Wahai kaum Yahudi, kalian bisa melihat sendiri apa yang telah menimpa saudara sekalian, saya tawarkan tiga alternatif, ambillah yang kalian suka.“ Mereka bertanya, “Apa itu?“ Ka‘ab menjawab: “Kita mengikuti Muhammad dan membenarkannya, karena, demi Allah , tentu telah jelas bagi kalian bahwa dia adalah seorang Rasul yang telah diutus dan kalian pun dapat menemukannya dalam kitab suci kalian dan anak-anak kalian akan selamat.“ Mereka menjawab: “Kami tidak akan melepaskan Hukum-hukum Taurat.“ Ka‘ab lalu berkata, “Bila kalian tidak mau menerima usulan ini, marilah kita habisi istri dan anak-anak kita lalu kita hadapi Muhammad dan para sahabatnya dengan pedang terhunus, kita tinggalkan anak-anak yang merana. Bila kita menang, kita bisa kawin lagi dan akan beranak pinak.“ Mereka menjawab, “Apakah dosa makhluk-makhluk kesayangan ini?“ Ka‘ab berkata lagi, “Bila kalian juga menolak usulan ini, maka malam ini adalah malam Sabtu (Sabbat), bisa jadi Muhammad dan para sahabatnya merasa aman dari gangguan kita, karenanya marilah kita turun mungkin kita bisa menyergap mereka dengan tiba-tiba. Mereka terus berkata, “Haruskah kita mengotori Sabbat dan melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kita yang kemudian dijadikan kera?“ Ka‘ab terus berujar, “Tak seorang pun di antara kalian, sejak hari lahir kalian, yang bisa melewati satu malam untuk memecahkan masalah yang seharusnya.“
Akhirnya mereka menyerah kepada ketetapan Hukum Rasulullah saw, karena orang-orang Yahudi Banu Quraidlah adalah sekutu suku Aus maka Nabi saw ingin menyerahkan ketetapan hukum mengenai mereka kepada salah seorang pemimpin suku Aus. Dalam hal ini Nabi saw mempercayakan kepada Sa‘ad bin Muadz. Waktu itu Sa‘ad bin Muadz terkenah panah di Khandaq dan masih dirawat di kemah. Ketika Rasulullah saw mempercayakan keputusan tentang Banu Quraidlah ini kepadanya, ia datang dengan menunggang keledai. Sebab ia sampai di dekat masjid, Nabi saw berkata kepda kaum Anshar, “Berdirilah kepada pemimpin kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.“ Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya mereka (orang-orang Yahudi Banu Quraidlah) menyerah kepada keputusanmu“. Sa‘ad bin Muadz menetapkan :
“Orang-orang yang menerjunkan diri dalam perang dibunuh dan keluarga mereka ditawan.“
Keputusan Sa‘ad ini disambut baik oleh Rasulullah saw dengan ucapan :
“Engkau telah mengambil keputusan sesuai dengan hukum Allah.“
Selanjutnya Muadz mengatakan: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa tidak ada orang yang lebih aku sukai untuk kuperangi selain dari kaum yang mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya. Ya Allah, sesungguhnya aku yakin bahwa Engkau telah mengakhiri peperangan antara kami dan mereka (Quraisy dan Musyrikin). Jika masih ada peperangan melawan orang-orang Quraisy maka berilah kesempatan kepadaku untuk berjihad melawan mereka di jalan-Mu. Jika Engkau telah mengakhiri peperangan maka letuskanlah lukaku ini dan jadikanlah kematianku padanya.“
Kemudian luka Sa‘ad bin Muadz pun pecah, darahnya mengalir sampai ke dalam kemah Bani Ghiffar di dalam mesjid. Para penghumi kemah terkejut seraya bertanya: “Dari manakah darah ini datang?” Ternyata darah itu adalah darah Sa‘ad bin Muadz yang mengucur dari lukanya dan menjadi sebab kematiannya. Di dalam riwayat Ahmad disebutkan bahwa lukanya itu sebesar lubang anting.
Kemudian orang-orang Yahudi Banu Quraidlah diminta turun dari benteng-benteng mereka dan digiring ke parit-parit yang ada di Madinah. Di sanalah orang-orang lelaki mereka bunuh dan para perempuan serta anak-anak mereka tawan. Di antara orang-orang yang digiring untuk dibunuh terdapat Huyay bin Akhtab yang menghasut Banu Quraidlah untuk melakukan pengkhianatan dan melanggar perjanjian. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa dia dibawa ke hadapan Rasulullah saw dengan kedua tangannya diikat ketengkuknya. Ketika melihat Nabi saw dia berkata: “Demi Allah, aku tidak mencela diriku karena memusuhimu, tetapi siapa saja yang mempecundangi Allah swt, pasti dia akan dipecundangi.“ Kemudian dia duduk lalu dipacung lehernya.
Beberapa Ibrah.
Para Ulama hadits dan Sirah menyimpulkan beberapa hukum dari peristiwa Banu Quraidlah ini :
Pertama : Boleh memerangi orang-orang yang melanggar perjanjian
Bahkan Imam Muslim menjadikan hukum ini sebagai judul bagi perang Banu Quraidlah. Perdamaian, perjanjian dan pemberian perlindungan yang telah dibuat antara kaum Muslimin dan non-Muslim wajib dijaga dan dihormati oleh kaum Muslimin selama pihak lain tidak melanggar perjanjian tersebut. Jika pihak lain melanggar perjanjian yang telah disepakati maka pada saat itu kaum Muslimin boleh memerangi mereka bila tindakan ini dinilai akan membawa kemaslahatan.
Kedua : Boleh bertahkim dalam memutuskan perkara kaum Muslimin
Imam Nawawi berkata :“Peristiwa ini menunjukkan bolehnya bertahkim, dalam memutuskan perkara kaum Muslimi kepada keputusan seorang Muslim yang adil dan laik memutuskan perkara. Para ulama telah menyepakati dalam kasus kaum Khawarij. Kaum Khawarij ini menolak Ali ra dalam melakukan tahkim, tetapi ketentuan ini menjadi hujjah atas mereka. Peristiwa ini juga menunjukkan bolehnya mengadakan perundingan bersama penduduk suatu desa atau penghuni suatu benteng dengan menyerahkan keputusan kepada seorang sebagai Hakum Muslim yang adil, laik memutuskan perkara dan dapat dipercaya dalam urusan yang dimaksud. Sementara itu orang yang bertindak sebagai Hakim diwajibkan mengambil keputusan yang akan membawa kemaslahatan kaum Muslimin. Bila Hakim telah memutuskan sesuatu maka harus dipatuhi keputusannya, Imam ataupun mereka tidak boleh menolak. Mereka boleh mencabut sebelum keputusan dijatuhkan.
Ketiga: Boleh berijtihad dalam masalah furu‘ dan kemestian terjadinya perbedaan pendapat.
Perselisihan para sahabat dalam memahami ucapan Rasulullah saw :
“Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar kecuali setelah sampai di Banu Quraidlah.“
Dan tidak adanya seorang pun di antara mereka yang dikecam ataupun disalahkan oleh Rasulullah saw, merupakan dalil penting bagi salah satu prinsip Syariat yang agung ini yaitu ketetapan prinsip perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu‘ dengan menganggap masing-masing dari kedua belah pihak yang berselisih pendapat mendapatkan pahala dan terma‘afkan (kesalahannya), baik kita katakan bahwa pihak yang benar itu hanya satu atau bisa lebih dari satu. Sebagaimana ia juga menetapkan prinsip sjtihad dalam menyimpulkan Hukum-hukum Syariat. Di samping itu, peristiwa ini menunjukkan bahwa menuntaskan perselisihan dalam masalah-masalah furu‘ yang timbul dari dalil-dalil zhanni adalah sesuatu yang tidak mungkin. Karena Allah swt memperhamba para hamba-Nya dengan dua macam taklif (kewajiban).
Pertama,
Menetapkan perintah-perintah tertentu dan jelas yang berkaitan dengan aqidah dan perilaku (suluk).
Kedua,
Mencari dan mengerahkan segenap upaya untuk memahami prinsip-prinsip dan hukum-hukum fariyah dari dalil-dalilnya yang umum dan beraneka macam. Seseorang yang mendapati waktu shalat di suatu pedalaman dan tidak mengetahui arah Kiblat secara pasti, tidaklah dituntut lebih dari tercerminnya ubudiyah kepada Allah dalam mengerahkan segenap usahanya untuk mengetahui arah kiblat sesuai apa yang dipahaminya dan atas tanda-tanda yang dilihatnya. Bila ia sudah yakin akan arah Kiblat yang dicarinya ia boleh shalat menghadap kepadanya dengan tenang.
Selain itu, beberapa hikmat dari adanya dalil-dalil dari nash-nash Syariat zhanniyu dilalah (tidak tegas penunjukkannya). Yang terpenting di antaranya, agar ijtihad-ijtihad yang berlainan mengenai suatu masalah ini seluruhnya memiliki hubungan yang erat dengan dalil-dalil yang mu‘tabarah secara syar‘i. Sehingga kaum Muslimin memiliki keleluasaan untuk mengambil dalil yang mana saja yang mereka kehendaki sesuai dengan tuntutan situasi dan kemaslahatan mereka Hal ini termasuk salah satu bentuk rahmat Allah swt kepada para hamba-Nya di setiap jaman dan waktu.
Dengan demikian usaha-usaha untuk menghapuskan perbedaan pendapat (khilafia) dalam masalah-masalah furu‘ adalah bertentangan dengan hikmah Rabbaniya dan tadbir (rekayasa) Ilahi dalam Syari‘at-Nya, di samping merupakan salah satu jenis kesia-siaan. Sebab, bagaimana anda akan menghapuskan adanya perbedaan pendapat selama dalilnya bersifat zhanni dan mengandung beberapa kemungkinan (muhtamal)? Seandainya hal itu mungkin terjadi pada suatu masa, niscaya sudah terjadi di masa Rasulullah saw dan orang yang paling pantas untuk tidak berbeda pendapat adalah para sahabat, tetapi ternyata mereka juga berselisih pendapat seagaimana anda lihat dalam peristiwa ini.
Keempat : Keyakinan orang-orang Yahudi terhadap kenabian Muhammad saw.
Seperti anda ketahui dari ucapan Ka‘ab bin Asad kepada saudara-saudaranya sesama Yahudi, bahwa mereka meyakini Kenabian Muhammad saw dan benar-benar mengetahui apa yang ditegaskan oleh Taurat tentang diri Nabi saw, tanda-tandanya dan kerasulannya. Tetapi mereka tidak dapat membebaskan diri dari fanatisme dan kesombongan yang menjadi sebab kekafiran sebagian besar manusia yang berpura-pura tidak faham dan tidak beriman. Ini sekaligus menjadi bukti nyata bahwa Aqidah Islam dan semua hukumnya merupakan agama fitrah yang bersih. Aqidahnya sesuai dengan akal dan semua hukumnya sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Tidak ada orang berakal sehat yang mendengar Islam dan mengetahui hakekatnya kemudian mengingkarinya secara jujur dan rasional. Ia mengingkari karena salah satu dari dua sebab, Mungkin dia tidak mendengar Islam secara benar dan mendapatkan gambaran yang palsu tentang Islam, atau mungkin dia mengetahui hakekat Islam tetapi secara emosional menolaknya karena kebencian kepada kaum Muslimin atau karena takut kehilangan kepentingan pribadinya.
Kelima : Hukum Berdiri karena Menghormati Orang yang datang.
Nabi saw memerintahkan orang-orang Anshar untuk berdiri menghormati Sa‘ad bin Muadz yang sedang menuju ke arah mereka dengan menunggang kendaraannya. Dikatakan sebagai tindakan penghormatan mengingat penjelasan Rasulullah saw. “Kepada pemimpin kalian atau orang yang terbaik di antara kalian.“ Hal ini oleh para Ulama dijadikan dalil bagi bolehnya menghormati orang-orang shalih dan para Ulama dengan berdiri kepada mereka pada kesempatan-kesempatan tertentu.
Imam Nawawi dalam komentarnya kepada Hadits ini berkata: “Ia menunjukkan bolehnya menghormati orang yang memiliki keutamaan dan menyambutnya dengan berdiri kepadanya apabila dia datang. Demikianlah jumhur Ulama berdasarkan hadits ini, menganjurkan berdiri (untuk menghormati orang yang datang). Al-Qadli berkata: “Ini tidak termasuk berdiri (untuk menghormati) yang dilarang. Berdiri (untuk menghormati) yang dilarang itu ialah bila mereka berdiri kepada seseorang yang duduk dan mereka tetap berdiri selama orang yang dihormati itu duduk. Saya berkata: “Berdiri kepada orang Ahlul Fadli (shalih) yang baru datang adalah mustahab (digemarkan), karena banyak hadits yang menegaskan hal ini dan tidak ada satupun larangan yang tegas mengenainya.“
Di antara hadits shahih yang menunjukkan kepada hal ini ialah apa yang disebutkan di dalam hadits Ka‘ab bin Malik (Muttafaq alaihi) yang menceritakan ketidak ikutsertaannya pada perang Tabuk. Ka‘ab bin Malik berkata: “Kemudian aku berangkat ke Mesjid untuk menjadi makmum di belakang Rasulullah saw, lalu orang-orang datang kepadaku gelombang demi gelombang menyampaikan pernyataan penerimaan taubat kepadaku seraya berkata, “Semoga engkau berbahagia, dengan penerimaan taubat oleh Allah swt kepadamu“. Kemudian aku masuk mesjid dan kudapati Rasulullah saw sedang duduk dikerumuni orang banyak. Lalu Thalhah bin Ubaidillah ra berdiri kepadaku seraya berlari kecil hingga menyalamiku dan mencucapkan selamat kepadaku.“ Demi Allah, tidak ada orang Muhajirin selainnya yang berdiri sehingga Ka‘ab tidak pernah melupakan perlakuan Thalhah tersebut.
Di antara hadits lainnya juga apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Abu Dawud dan Bukhari di dalam Adabul-Mufrad :
“Dari Aisyah ra, ia berkata: “Aku tidak melihat seorang pun di antara manusia yang lebih menyerupai Nabi saw dalam hal bicara, omongan dan cara duduk selain dari pada Fatimah. Aisyah berkata :“Apabila Nabi saw melihat Fatimah datang, beliau menyambutnya dan berdiri kepadanya lalu menciumnya seraya memegang tangannya kemudian membawanya hingga mendudukannya di tempat duduk beliau. Sebaliknya, apabila Nabi saw datang kepadanya, ia menyambut Nabi saw kemudian berdiri kepadanya dan menciumnya.“
Ketahuilah bahwa semua ini tidak bertentangan dengan Hadits Rasulullah saw yang menegaskan :
“Barangsiapa menginginkan agar orang-orang berdiri (memberikan hormat) kepadanya maka hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.“
Karena disyariatkan penghormatan kepada orang-orang yang memiliki keutamaan tidak berarti mereka menginginkan hal ini, bahkan di antara sifat orang-orang yang shalih, yang paling menonjol ialah berlaku tawadlu kepada saudara-saudara mereka dan tidak pernah menginginkan hal-hal seperti itu. Bagaimanakah Islam memerintahkan kepada orang-orang fakir yang membutuhkan bantuan? Adab Islam menganjurkan dan mengajarkankan kepadanya agar tidak meminta-minta dan mengampak-nampakkan kefakiran kepada manusia, tetapi pada saat yang sama Islam memerintahkan orang-orang kaya agar mencari orang-oranga fakir yang tidak meminta-minta dan menghormati mereka serta membari bantuan kepada mereka.
Jadi, masing-masing mempunyai adab dan tugas. Keduanya tidak boleh dicampur-adukkan atau yang satu dihapuskan dengan yang lain.
Tetapi dalam masalah ini anda harus mengetahui bahwa penghormatan yang apabila dilanggar maka penghormatan itu akan berubah menjadi tindakkan yang diharamkan dan orang yang melakukannya atau membiarkannya akan mendapatkan dosa.
Di antara apa yang mungkin anda temui dalam majelis-majelis sebagai kaum Sufi. Salah seorang murid diperintahkan berdiri di depan Syaikh-nya dengan merendahkan diri dan tidak bergerak sampai Syaikhnya memerintahkannya untuk duduk. Atau sebagian mereka sujud di lutut Syaikhnya atau pada tangannya ketika dia datang. Atau mereka harus berjalan merangkak bila memasuki majelis Sufi. Dan janganlah anda tertipu oleh penjelasan yang mengatakan bahwa itu semua hanyalah uslub (cara) tarbiyah kepada murid. Karena Islam telah mensyariatkan berbagai manhaj dan uslub tarbiyah dan melarang kaum Muslimin melakukan penyimpangan daripadanya. Setiap uslub tarbiyah yang tidak sesuai dengan uslub Nabawi, tidak dapat dibenarkan.
Keenam : Keutamaan Sa‘ad bin Muadz
Dari peperangan Banu Quraidlah ini anda dapat mencatat keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh Sa‘ad bin Muadz. Pertama, ketika Nabi saw memberikan kepercayaan kepadanya untuk menetapkan suatu keputusan mengenai nasib Banu Quraidlah dan sikap beliau yang sepenuhnya mendukung terhadap setiap keputusan yang akan diambilnya. Kedua, ketika Nabi saw memerintahkan orang-orang Anshar agar berdiri kepadanya pada waktu dia datang. Ini merupakan keutamaan besar bagi Sa‘ad bin Muadz karena perintah tersebut bersumber dari Rasulullah saw. Ketiga, ketika leher Sa‘ad terluka di perang Khandaq dengan khusyu‘ ia mengangkat kedua tangannya mengucapkan do‘a kepada Allah :
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa tidak ada orang yang lebih aku sukai untuk kuperangi selain dari kaum yang mendustakan Rasul-Mu dan mengusirnya. Ya Allah, jika masih ada peperangan melawan orang-orang Quraisy maka berilah kesempatan kepadaku untuk berjihad melawan mereka di jalan-Mu.“
Do‘a Sa‘ad ini dikabulkan. Lukanya mengering dan terlihat tanda-tanda akan sembuh total, hingga terjadi perang Banu Quraidlah dan Rasulullah saw menyerahkan kepadanya untuk menetapkan keputusan yang berkekuatan hukum terhadap mereka dan Allah swt, menghindarkan kaum Muslimin dari kejahatan kaum Yahudi serta membersihkan Madinah dari kotoran-kotoran mereka. Di sini Sa‘ad mengangkat kedua tangannya kembali berdo‘a kepada Allah :
“Ya Allah, sesungguhnya aku yakin bahwa Engkau mengakhiri peperangan antara kami dan mereka (Quraisy dan Musyrikin). Jika Engkau telah mengakhiri peperangan antara kami dan mereka maka letuskanlah lukaku ini dan jadikanlah kematianku padanya.“
Do‘a Sa‘ad yang kedua ini dikabulkan Allah. Lukanya pecah pada malam itu juga dan Sa‘ad meninggal dunia.
Ibnu Hajar di dalam Fathul-Bari mengatakan: Menurut saya perkiraan Sa‘ad itu benar dan do‘anya juga dikabulkan ,sebab setelah perang Khandaq tidak pernah menjadi peperangan antara kaum Muslimin dan orang-orang Quraisy, yang dalam hal ini peperangan tersebut dimulai oleh kaum Musyrikin. Yang terjadi bahwa Rasulullah saw siap-siap untuk melakukan Umrah kemudian mereka menghalangi kedatangan Nabi saw ke Mekkah, sehingga hampir menimbulkan peperangan, tetapi tidak jadi sebagaimana difirmankan Allah :
“Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah koat Mekkah sesudah Allah swt memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan .“ QS Al-Fath : 24
Kemudian terjadi perjanjian perdamaian yang di antaranya meminta agar Nabi saw menunaikan umrahnya tahun depan. Perjanjian ini berjalan sampai mereka sendiri melanggarnya. Lalu Rasulullah saw berangkat memerangi mereka dan menaklukkan Mekkah.
Rasulullah saw telah menegaskan, sekembalinya dari perang Ahzab, dalam sebuah riyawat Bukhari :
“Sekarang kita yang menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kita. Kita bergerak mendatangi mereka.“
Al-Bazzar dengan sanad hasan meriwayatkan dari hadits Jabir ra, bahwa Nabi saw pernah bersabda pada perang Ahzab, ketika mereka telah mempersiapkan pasukan yang sangat besar untuk menghadapi Nabi saw :
“Setelah hari ini mereka tidak akan menyerang kalian, tetapi kalianlah yang akan menyerang mereka.“
Akhirnya kisah Sa‘ad ini, dengan segala situasi dan kasus yang telah kami sebutkan di atas, mengingatkan anda kembali kepada apa yang telah kami tegaskan bahwa perang membela diri di dalam Islam hanyalah merupakan salah satu tahapan dakwah yang pernah dilalui Rasulullah saw. Setelah itu adalah tahapan mengajak semua manusia termasuk kaum Musyrikin dan Atheis, untuk menerima Islam. Demikian pula Ahli Kitab, mereka harus menerima Islam atau tunduk kepada Hukum Islam secara umum. Kemudian orang-orang yang menghalangi Islam akan diperangi selama memungkinkan dan setelah semua dakwah secara damai dikerahkan.
Setelah sempurnanya Hukum Islam yang berkaitan dengan jihad dan dakwah, tidak ada apa yang disebut dengan perang defensif yang akhir-akhir ini sering dilontarkan oleh sebagian penulis. Jika tidak lalu apa arti sabda Rasulullah saw: “Tetapi kalianlah yang akan menyerang mereka.“